Kucing Pertama Kesayangan Kami (Part 2 - Akhir)

It's been a looooong day, without you my friend..

Gila ya. Postingan satu tahun yang lalu baru gue lanjutkan sekarang, bahkan setelah satu tahun lebih Ujun tiada. Padahal ya draft di microsoft word pun sudah selesai pada saat itu juga. Hitung sendiri lah tingkat kemalasan gue sepanjang itu.

Well,

Salah satu hal yang membuat keluarga gue senang merawat Ujun adalah ketertibannya ketika buang air baik kecil maupun besar. Ia selalu konsisten buang air di tanah samping rumah kami dan itu sama sekali bukan masalah. Namun suatu hari, papa menemui kotoran Ujun di bagasi mobil depan rumah. Setelah dimarahi, Ujun sempat tidak buang air besar di bagasi lagi. Namun beberapa hari itu, tidak tahu apa yang terjadi pada Ujun, ia tidak lagi buang kotoran di tanah samping rumah. Tapi di bagasi mobil. Papa kesal. Ujun dihukum tidak boleh masuk rumah. Termasuk makan pun, biasanya Ujun dibolehkan makan di dalam rumah. Karena kejadian itu, Ujun tidak boleh masuk rumah sama sekali. Sebelum ia bisa kembali tertib buang air besar.

Setelah membaca berbagai artikel tentang kucing, gue ingin Ujun dapat kembali main di dalam rumah. Di artikel dijelaskan bahwa kucing dapat diajari buang air di pasir dengan berbagai cara. Gue melakukan beberapa caranya, salah satunya membuat tempat berisi pasir untuknya buang kotoran. Namun Ujun masih buang kotoran di lantai bagasi.

Gue dan mama terus berusaha mengajari Ujun untuk kembali buang kotoran dengan tertib. Kami ingin ia kembali main di dalam rumah. Malam itu setelah pulang dari mini market, gue dan mama kembali mengajarkan Ujun agar buang kotoran di tempat berisi pasir atau tanah samping rumah. Lalu mama melihat tempat pasir itu, ada bekas basah di sana. Dengan riang mama berkata, “Ujun udah bener buang kotorannya ya?” Gue pun sama riangnya. Sebelum masuk rumah, kembali gue mengelus kepala Ujun dengan lembut. Gue selalu melakukan itu.

Saat itu bulan puasa. Esoknya, setelah sahur Arya memberi makan Ujun di luar. Jadwalnya makan di bulan puasa mengikuti jadwal kami sahur. Biasanya, siang kami akan memberinya makan kembali. Gue ikut ke luar rumah, mengecek Ujun sebentar, mengelus kepalanya kembali, lalu mengecek bagasi memastikan tidak ada kotoran lagi.

Setelah Subuh gue kembali tidur (ampun dah hehe). Kebetulan kamar gue persis di belakang bagasi mobil. Dengan jendela yang pas memperlihatkan bagian belakang bagasi, gue bisa melihat bagian pada bagasi di mana Ujun akhir-akhir itu suka buang air besar.

Krasak-kresek. Gue mendengar suara sedikit ribut di bagasi. Gue harap itu hanya suara Ujun menggaruk-garuk ban mobil seperti kebiasannya. Gue tidak berharap ia kembali buang kotoran sembarangan. Sebaliknya, gue berharap ia BAB di kotak pasir. Gue mengintip dari jendela kamar. Tidak ada apa-apa. Gue kembali ke kasur. Lagi-lagi suara gaduh, gue kembali mengintip ke jendela. Gue melihat Ujun sedang melintasi kolong mobil. Hanya itu. Gue tidak memikirkan hal lainnya. Yang penting ia tidak BAB sembarangan, pikir gue saat itu. Gue kembali tidur.

Sekitar pukul 9 pagi, mama membangunkan gue. “Sarah, bangun! Ujun sakit. Keracunan kayaknya.” Lantas, tanpa basa-basi apa pun gue langsung menuju ke TKP. Hal yang pertama kali gue lihat adalah Ujun sudah sekarat di bagasi mobil rumah gue. Gue yang gak ngerti apapun tentang medis hanya berteriak meminta Arya mengambilkan air. Setelah air diambilkan, gue langsung memaksakan air itu diminum Ujun. Tapi sulit. Ia berbaring miring, dengan badan yang kejang-kejang. Gue tetap mencoba memasukkan air itu ke mulut Ujun, tapi reaksi tubuhnya seolah sudah menolak apapun yang berasal dari luar. Papa dating membantu. Mama bilang, “Pa, mama ke Alfa ya beli air kelapa” buat Ujun karena air kelapa dapat mentralisir racun. Papa mengiyakan. Mama mengambil uang. Papa menangani Ujun. Gue hanya bias mondar-mandir panic, berharap Ujun masih bias diselamatkan. Waktu mama baru mau ke luar rumah, papa bilang, “Udah gak usah. Sudah meninggal.” Gue gak tau harus berbuat apa. Gue bengong. Gue mencoba tenang. Waktu papa masih membersihkan badan Ujun, gue masih mencoba biasa aja. Gue lihat Ujun dengan keprihatinan mendalam. Gue mencoba tegar tanpa air mata. Ketika papa sudah menggotong Ujun dan mulai menguburkannya di tanah samping rumah, gue sadar gue gak akan melihat sosoknya lagi. Gue gak akan bias bermain dengan lagi. Teman beda spesies gue telah pergi selamanya. Gue mulai menangis. Air mata itu tumpah gak karuan. Gue langsung ke kamar. Gue terisak. Menangisi apapun yang terjadi pagi itu. Gue sadar pemandanga Ujun sedang berjalan di bawah kolong mobil yang gue lihat setelah subuh adalah saat terakhir gue melihat Ujun masih sehat bugar. Setelah itu gue sadar, Ujun memakan sesuatu yang harusnya bukan dimakannya. Ia memakan ikan yang sudah diberi racun tikus di tanah tetangga. Gue mencoba kembali tenang. Gue terus berpikir kalau semua sudah rencana Allah. Tapi tetap saja gue menangis seharian itu.

Gue gak akan pernah lupain Ujun.

***

Dada gue selalu kembali sesak tiap inget kejadian tersebut. Tapi sedih terus-terusan, apalagi sampai kapok pelihara hewan, juga gak baik. Raditya Dika aja setelah ditinggal Pink malah kembali pelihara kucing dengan jenis yang sama, bahkan jumlahnya lebih banyak. Begitu juga gue.

Setelah ditinggal Ujun di bulan Juli, di bulan September gue mulai memberanikan diri untuk move on alias kembali memelihara kucing yang juga dilahirkan oleh induk kucing yang sama. Here you go, Miu dan Uluk. Cerita lebih lanjut tunggu kalau gak males ;)