The Protected Girl Free Now




Tidak cocok kalau gue mengatakan bahwa segala yang gue lalui selama 17 tahun terakhir adalah kemarin. Sayangnya, gue selalu merasa segalanya baru saja lewat sedetik yang lalu. Dan sialnya, gue tidak bisa untuk tidak merindukan sedetik sebelumnya. Bagaikan hidup di masa lalu, gue tidak bisa meninggalkan masa itu begitu saja. Selalu ada ruang di jiwa yang sengaja dikosongkan untuk menampung yang sudah berlalu dan yang dirindukan, tentunya.
 
Momen-momen masa kecil seperti diantar ke taman kanak-kanak oleh kedua orang tua di hari pertama sekolah tentunya bukan hal yang mudah diingat. Gue hanya bisa mendengar kata mereka. Namun, rasanya gue tetap bisa membayangkan dengan jelas semua cerita yang memang benar adanya.


Tujuh belas tahun gue dirawat dengan baik. Sangat sangat sangat baik pastinya. Bukan hanya dirawat, tapi juga dibesarkan, dididik, diajarkan, dan juga dilindungi. Iya, dilindungi. Sangat dilindungi. Gue dibesarkan dengan perlindungan super. Gue tidak dibesarkan sebagai anak yang bebas berpergian ke sana ke mari walau sudah meminta izin sambil memohon-mohon dan ngesot-ngesot di lantai. Gue ingat waktu SMP, ketika teman-teman gue pergi jalan-jalan sepulang sekolah, gue jam tiga sore belum sampai rumah pun sudah diperingatkan. Pulang setelah adzan maghrib hukumnya haram sampai gue menginjak umur tujuh belas tahun. Kalau pun hukum itu berubah menjadi makhruh, gue harus bisa mendeskripsikan alasannya dengan tidak singkat, jelas dan dapat dipahami.


Orang tua gue tidak melakukan semua itu tanpa alasan. Ketika gue merengek bertanya kenapa selalu tidak boleh, ibu gue selalu bilang, “Sarah anak perempuan mama satu-satunya” dan bapak gue pun bilang “kamu kalo disayang gak ngerti”. Orang tua memang punya caranya masing-masing untuk menjaga anaknya. Dan gue terus-terusan terbiasa dengan cara ini.


Sampai SMA, ketika gue lumayan sering dituntut “tugas” untuk pulang malam, perlahan-lahan keduanya mengerti. Mungkin kedua orang tua gue juga ingat kalau gue bukan anak SD ataupun anak SMP lagi. Gue mulai dibolehkan pulang malam. Asal, gue tetap harus mencamtumkan kemana gue akan pergi, untuk apa gue pergi, ada urusannya dengan sekolah atau tidak, dengan siapa, naik apa, dan pulangnya jam berapa. Pertama kalinya di SMA, ketika gue diizinkan pulang malam (malamnya gue ya jam tujuhan lah ya, gak pernah sampai jam sembilan ke atas) dengan alasan ada acara ngumpul ROHIS. Gue beneran ngumpul ROHIS SMA gue. Gue pake jilbab, aurat pun tertutup semua. Ketika acara selesai, setelah solat maghrib gue langsung ‘cus’ pulang karena takut dengan adegan yang biasanya seperti ini: gue baru buka pager rumah yang berlonceng, otomatis lonceng itu berbunyi, dan langsung ada suara gelagar “KAMU NGAPAIN BARU PULANG JAM SEGINI?!” dari bapak gue. Tapi saat itu, adegan berbeda terjadi. Gue dengan deg-degan (seperti biasanya), membuka pintu pagar yang berlonceng, otomatis loncengnya berbunyi, gue buka pintu rumah dan mengucapkan “assalamualaikum” dengan suara gemetar. Gue sudah takut duluan, tapi yang ada malah sambutan jawaban “waalaikumsalam. ALHAMDULILLAH ANAK PAPA UDAH PULANG! Aduh, papa takut ada kenapa-kenapa sama Sarah” dengan pelukan dari bapak gue.


Gue benar-benar telah salah menduga.
 


Dan begitu lah gue dibesarkan selama lebih dari tujuh belas tahun tetapi kurang dari delapan belas tahun. Kedua orang tua gue melindungi gue seperti itu. Daripada membiarkan gue keluyuran gak jelas ke mall dengan teman dan yang pasti juga dengan angkot, mereka memilih mengajak gue untuk pergi ke mall bersama mereka. Daripada membiarkan gue naik angkot atau bis tiap pergi ke sekolah, bapak gue memilih mengorbankan dirinya untuk mengantar gue tiap pagi, selalu, selama tiga belas tahun. Yaitu dari gue TK sampai gue lulus SMA. Walaupun sudah berkali-kali mendikte gue yang sering telat berangkat sekolah dengan: “POKOKNYA KALO MASIH TELAT JUGA, MULAI BESOK KAMU BERANGKAT SEKOLAH SENDIRI!”, tapi hal itu tidak pernah terjadi. Sekali dua kali gue memang dibiarkan berangkat sekolah sendiri, tapi sampai gue lulus SMA, bapak gue tidak pernah membiarkan gue berangkat sekolah sendiri terus-terusan. Seperti itu orang tua gue melindungi anaknya.


Dan tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat untuk terbiasa dengan semua itu. Gue sudah ahli dalam mencintai segala peraturan di rumah. Lebih dari itu, gue sudah terlalu nyaman dengan segala perlindungan orang tua gue sampai-sampai gue malas beranjak dan terlena dengan manja.



Dan sekarang mereka melepas anak perempuan satu-satunya ini ke luar kota sendirian.


Iya, walaupun benar Bogor-Tangerang Selatan sedekat itu. Tapi dilepas setelah bertahun-tahun dilindungi dengan erat bukan pembiasaan yang mudah. Setelah bertahun-tahun diawasi kemana-mana, sekarang untuk pergi sesuka gue pun bisa. Mau pulang jam berapa pun juga bisa. Mau pergi dengan siapa pun apalagi. Tetapi segala peraturan di rumah sudah menempel lekat di diri gue. Tanpa disuruh, gue akan kabari sendiri gue akan kemana, dengan siapa dan pulang jam berapa. Sekarang gue baru mengerti bahwa selama itu gue dididik agar tidak menjadi anak yang sembarangan, yang memikirkan dengan matang segala tindakan sebelum memulainya. 


Entah sudah berapa kali gue menulis ini. GUE SUDAH AMAT TERBIASA DENGAN RUMAH. Dan pergi sendirian tanpa orang tua amat janggal bagi gue, membuat gue selalu rindu rumah, dan tentu membuat gue selalu ingin pulang. Gue gak pernah kuat ketika membaca chat dari ibu gue yang menyatakan rindu, karena gue pun sama. Sama. Sama. Sama. SAMA.



Gue benar-benar serupa dengan lagu ‘Kangen’nya Dewa 19.



The protected girl that free now will always miss home.