Waktu Datang, Kisah Terkenang (II)




Setelah keinginan gue kuliah di UI secara perlahan hilang, gue bener-bener menginginkan kuliah dengan jurusan teknik PWK, dan itu ada di Undip.
  

but He says no, and give me something better.


Setelah ujian SBMPTN selesai, gue mulai menjalani kehidupan normal gue. Kayak gimana sih kehidupan normal gue?
Rutinitas yang gak jauh-jauh dari tidur, makan, repeat. Yang sudah biarkan berlalu. Ujian SBMPTN yang berlalu, ya udah. Yang bisa gue lakukan sekarang hanya berdoa. Berdoa semoga kertas ujian SBMPTN gue pas diperiksa gak error, semoga passing grade tahun ini turun karena "soalnya kok susah ya?", semoga orang-orang yang naro pilihan-pertama-gue (baca: teknik PWK Undip) di pilihan kedua atau ketiga pada keterima di pilihan pertama mereka, dan semoga semoga yang lain. Pada saat itu, gue masih baget, kalo gue mau diterima di pilihan pertama gue. Cuma itu, titik. Sampai akhirnya, DHUAR, gue mulai tawakal, dimana pun gue keterima itu udah yang terbaik dari Allah.

Hari pengumuman SBMPTN makin dekat dan gue mulai harus menerima: mau pilihan pertama kek, kedua kek, ketiga kek, keempat kek alias gak keterima, ya udah, belom rejeki, belom rejeki. Tawakal dari jauh-jauh hari sangat dibutuhkan. Untuk apa? Untuk siap dihempaskan kuat-kuat ketika asa yang setinggi langit tidak terwujud.


Kamis, 9 Juli 2015
Hari yang dilewati penuh rasa dag-dig-dug bagi puluhan ribu calon mahasiswa datang juga. Hari ini pengumuman SBMPTN, dan gue gak berharap banyak. Doa gue hari itu adalah agar gue diberikan mental yang kuat apapun hasil yang akan gue lihat di website SBMPTN sore nanti. Dan sepanjang hari gue lewati dengan rutinitas gue sebagaimana biasanya. Tidur, makan, repeat. Pengumuman sudah bisa dilihat jam lima sore. Jam lima kurang lima menit gue baru berangkat mandi pertama kalinya di hari itu. Lima belas menit kemudian gue baru keluar dari kamar mandi dengan sok santai, seakan gue gak akan melihat apa-apa yang mengharukan atau bahkan mengerikan. Setengah enam gue baru pegang hape setelah sebelumnya berdoa lagi agar diberi kesiapan mental apapun hasilnya. Gue bener-bener udah siap untuk apapun hasilnya. Satu-satunya yang gue takutkan adalah ekspetasi kedua orang tua gue akan hasil yang gue dapatkan nanti. Makanya, sebelum nyentuh itu layar sentuh di hape, dan ngetik website SBMPTN, gue bilang ke ibu gue,

"ma, apapun hasilnya, biarin aja ya ma."
dan ibu gue menjawab dengan meyakinkan, "iya, gapapa, mama tahu Sarah udah mencoba yang terbaik."

dan malaikat yang satu itu bahkan tidak pernah tidak membuat gue terharu.

Baiklah. Akhirnya, dengan segenap jiwa dan raga, serta restu seorang ibu, gue mulai mengetik url website SBMPTN di hape ibu gue (karena kuota w abis, tjuy). Dan, ya, website down. Pasti puluhan ribu manusia itu lagi pada buka. Ya udah, gue buka website lain yang bisa liat pengumumannya juga. Gue buka websitenya UI (aduh, mantan impian), tapi lemot abis, terus hape ibu gue ngehang pula gara-gara belom diupgradre. Aduh. Gue kehilangan kesabaran. Sabar, sabar. Akhirnya gue menghampiri bapak gue yang lagi cekikikan gara-gara grup Whatsappnya. Baru gue menampakkan kepala gue, bapak gue langsung berseru, "mana? udah liat belom?". Dengan, lagi-lagi, sok santai, gue menjawab, "belom, pa. Internetnya lemot banget, internet papa lemot gak? Sarah pinjem dong." Dan tanpa banyak basa-basi, bapak gue memberikan hapenya dan berkata, "pokoknya apapun hasilnya terima aja ya." Oh iya dong, harus. Dan gue pun sadar, restu untuk menerima-apapun-hasilnya sudah gue dapat dari kedua orang tua gue. Sekarang, gue bener-bener siap liat apapun hasilnya itu ujian.

Setelah meyakinkan website resmi pengumuman SBMPTN dan UI sama-sama down. Gue melanjutkan untuk membuka website Undip. Dan, bisa! Iya! Bisa! Gue bisa lihat hasilnya!

Mental gue bener-bener datar waktu gue lihat hasil itu untuk pertama kali. Sambil, berkata "oke" dengan nada santai di dalam hati, gue menunjukkan hasilnya ke bapak gue.


"ALHAMDULILLAH YAA ALLAH! BU (nenek gue maksudnya), LIAT SARAH DITERIMA DI IPB. MAA, SARAH DITERIMA MA!"

"Wah, selamat ya Sarah." Kata nenek gue.

Dan mama tergopoh-gopoh turun dari lantai atas, "WAH SARAH DITERIMA? WAH SELAMAT SAYANG. HUHUHU, mama bangga sama Sarah." Emak gue terharu. Dan sekali lagi gue katakan, malaikat yang satu itu tidak pernah tidak membuat gue terharu. Terharu juga dong gue, dan tanpa air mata pastinya.

Rasanya pecah. Gue yang tadinya cuma bengong liat hasil pengumuman, atau bisa dibilang: GUE BIASA AJA, langsung berubah. Gue pikir, kenapa gue harus gak bahagia (atau biasa aja) ketika orang-orang tersayang gue semuanya bahagia atas gue. Gue merasa bersalah kalo gue gak bisa sebahagia mereka. Atau tidak se-bersyukur ibu gue? Gue salah besar. Dari ribuan orang yang menginginkan masuk IPB, masa iya gue udah diterima terus gak bersyukur? Gue amat bersyukur dan gue bahagia. Terlebih lagi gue bahagia atas orang-orang tersayang yang berbagia karena gue.

Dia Yang Maha Tahu menjawab keinginan gue dengan: TIDAK, aku berikan kamu yang lebih baik. Gue dulu meminta diterima di Undip, dan Dia memberikan gue IPB. Malamnya, gue masih bimbang antara apakah gue ambil aja IPBnya, atau tetep nunggu pengumuman UIN atau ujian Undip. Dan segalanya ada konsekuesinya. Kalo gue gak ambil IPB, apa iya gue PASTI diterima di UIN atau Undip? Gue gak mau ambil resiko, akhirnya gue memantapkan hati gue untuk menuntut ilmu kedepan di IPB.

DAN GUE TAHU APA?
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi merilis universitas terbaik tahun 2015 dan IPB ada diurutan ketiga setelah ITB dan UGM. Udah benar-benar saatnya gue untuk mencintai kampus ini, mencintai (walau gue berat menuliskannya, tapi baiklah) asramanya, dan segala macam isinya. Segala macam karunia yang Allah berikan buat gue.

Dan, iya, tidak selalu doa manusia dijawab dengan iya dari Allah. Karena sesungguhnya, Sang Pencipta tahu yang terbaik bagi hambanya. 

Bismillahirrahmanirrahim.