Quiet: Is That An Indignity?


“Halo, Adik. Kelas berapa?” tanya seorang ibu-ibu kepada anak berumur sepuluh tahun yang sedang duduk manis di kursi sebelah ibunya.
“Kelas lima” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh, kalau anak tante kelas enam.” Balas ibu-ibu itu lagi. Kali ini anak itu hanya tersenyum sambil mengucapkan sepatah kata tanda mengerti. Selanjutnya adalah diam. Tidak ada percakapan lagi, yang ada hanya senyuman. Gantian, ibu dari anak itu yang berbicara. Katanya, “maaf, ya. Dia pendiam.” Sambil tersenyum mencoba untuk tetap sopan, anak itu pun menunduk. Sedih.
Sepotong cerita di atas hanyalah ilustrasi belaka. Bukan ibu saya yang memohon maaf atas sifat pendiam saya. Bisa jadi kerabat atau orang-orang di sekitar yang merasa tahu benar saya. Kata ‘merasa’ sengaja saya tebalkan karena saya sendiri tidak yakin. Sebegitu kenalnya, kah?

Jadi, cerita tentang siapa yang saya tuliskan di atas? Subjeknya bisa semua orang yang dikenal sebagai pendiam. Bisa saya, bisa kamu, bisa sahabatmu, bisa kenalanmu, atau bisa jadi keluargamu. Ibu yang meminta maaf atas sifat pendiam anaknya bisa jadi siapa saja seseorang di hidup si pendiam yang menganggap bahwa pendiam adalah aib.

Kalimat yang isinya kurang lebih “maaf ya dia orangnya pendiam” telah menjadi makanan pokok selama hidup saya. Selama itu juga saya menggali apa yang salah dalam diri saya. Saya bertanya-tanya kenapa. Kenapa orang dekat saya harus meminta maaf atas sifat pendiam saya? Kenapa jawaban sopan atas pertanyaan mereka saja tidak cukup? Kenapa saya harus aktif berbicara agar bisa dicap baik? Kenapa saya tidak boleh cukup mendengarkan saja? Semakin saya bertanya, semakin besar kemampuan saya untuk menyalahkan diri sendiri. Semakin besar pula rasa benci saya terhadap diri ini. Persetan motto “cintailah dirimu” ketika di sisi lain lingkungan pun tidak pernah mendukung.

Padahal sifat pendiam sendiri itu abstrak dan tidak bisa diukur. Tidak ada frekuensi minimal berbicara seseorang agar bisa dinilai sebagai pendiam atau bukan. Penilaiannya pun berbeda-beda dari setiap sudut pandang. Orang pertama bisa bilang diri saya pendiam luar biasa karena kami memang tidak akrab, sedangkan orang kedua bisa bilang diri saya cukup banyak bicara karena kami akrab. Pendiam juga bukan berarti terus-terusan diam. Saya tetap berbicara ketika saya ingin mengetahui sesuatu, ketika ingin menyampaikan sesuatu yang mengganggu saya, ketika ditanya orang lain, atau sebagai respon saya ketika berinteraksi misalnya untuk mengucapkan terima kasih atau meminta maaf.

Pendiam pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesopanan. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, pendiam bukan berarti tidak menjawab ketika ditanya. Justru di saat itulah waktu yang tepat untuk kami (orang-orang pendiam) berbicara. Kami yang lebih suka mendengarkan akhirnya diberi kesempatan berbicara. Walaupun dengan singkat, kami benar-benar memastikan bahwa jawaban itulah yang diminta. Kami, seperti orang-orang pada umumnya, akan selalu mencoba menyampaikannya sesopan mungkin. Selain itu, pendiam juga bukan berarti tidak mau berinteraksi atau menyapa orang lain. Hanya saja, seorang pendiam melakukan semua itu secukupnya atau bisa dibilang lebih singkat dibanding mereka yang bukan pendiam.

Lalu kenapa masih harus merasa malu dan bersalah terhadap sifat yang sudah menempel bisa jadi dari lahir? Selama hidup, saya lebih sering mendengar seseorang yang berbicara kepada orang lain tentang kerabat atau orang dekatnya dengan menyebutkan “maaf, dia orangnya pendiam” dibanding dengan yang menyebutkan “maaf, dia bicaranya menyakitkan”. Ini benar-benar mengganggu saya. Rasanya seperti tidak apa-apa berbicara sembarangan dan menyudutkan asalkan orang tersebut supel dan bukan pendiam. Seaib itukah orang yang pendiam atau kebiasaan orang-orang kita yang harus diubah?

***
Beda kasus. Beberapa orang pendiam yang juga menderita social anxiety. Pernah dengar tentang ini? Social anxiety atau kecemasan sosial adalah ketakutan akan berinteraksi dengan orang lain yang dapat membangkitkan perasaan mawas diri, dihakimi, dan dinilai secara negatif oleh orang lain dan sebagai akibatnya, mengarah pada sikap menarik diri (Richards, Thomas A). Sekarang bisa bayangin seseorang yang pendiam ditambah kecemasan sosial? Mau mengharapkan dia lepas dari kecemasannya sedangkan orang-orang terdekatnya malah memperlakukan sifat pendiamnya sebagai aib? You wish.

Pengalaman saya, kecemasan sosial justru baru muncul ketika ketika orang-orang sekitar saya menganggap sifat pendiam adalah sesuatu yang yang harus dikubur. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, perlakuan tersebut membuat saya merasa bersalah terhadap diri saya. Setiap bersosialisasi, saya jadi cemas. Saya cemas akan harapan orang terhadap saya, yang mungkin mengharapkan saya untuk lebih banyak bicara. Saya cemas tidak dapat memenuhi harapan mereka. Saya pun tertekan dengan penilaian sifat pendiam saya, membuat saya justru takut berbicara. Saya takut ketika saya benar-benar bicara, respon yang didapatkan malah “tumben bicara”, “nah gitu dong bicara”, atau respon-respon lainnya. Pokoknya kalau bicara tentang social anxiety, bisa dibuat satu artikel sendiri saking banyak penyebabnya.

Intinya, yang ingin saya sampaikan adalah tolong tidak usah menganggap sifat pendiam adalah sebuah aib. Anggaplah sifat pendiam sama halnya dengan warna kulit atau bentuk hidung setiap manusia. Bahwa bukan manusia yang memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan sifatnya. Seperti warna kulit atau bentuk hidung, sifat pendiam adalah keunikan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dan sekarang tinggal bagaimana manusia dapat memanfaatkan dan mengontrolnya dengan baik. Tidak usah membuat orang yang memiliki sifat pendiam dihujani rasa bersalah. Kalau ia merasa malu atau takut, ajaknya ia bicara dengan baik, tanyakan apa yang membuat perasaannya tidak nyaman dan bantu ia agar bisa keluar dari perasaan tersebut. Kalau tidak bisa atau tidak mau bantu, mudah, cukup jangan buat seseorang tersebut tambah tertekan dan merasa bersalah. Buat kalian yang sama seperti saya, semoga kita bisa melalui semua ini dengan baik. Pendiam bukan berarti tidak berani bicara. Biarlah apa kata orang menguap di udara. Jangan biarkan hal-hal tersebut terus mengikat diri kita dan membatasi apa yang seharusnya dapat kita lakukan. Jadilah diri sendiri. I will always try to be proud of it. 

Bismillahirahmanirrahim.