Mengapa Terkadang Media Sosial Begitu Menyebalkan


Pernahkah kamu, ketika membuka media sosial dan beberapa lama melihat-lihat isinya lalu merasakan muak yang berkelanjutan?

Gua pernah.

***

Tidak bisa dipungkiri bahwa era internet memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia di dunia. Informasi dapat dengan mudah kita akses hanya mengandalkan perangkat, jaringan internet, dan rasa tidak malas untuk mencari. Internet juga memberikan kita akses tanpa batas untuk kehidupan sosial. Hanya dengan hitungan detik, kita sudah bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan jarak jauh. Internet sebagai tempat kita bersosialisasi sering disebut dengan media sosial. Dalam media sosial, kita dapat berhubungan dengan siapapun mulai dari orang terdekat, teman, sekadar kenalan, atau orang yang tidak kita kenal sama sekali.

Kita pasti akrab dengan ‘jargon’ media sosial. Facebook menuliskan teks “Apa yang sedang Anda pikirkan?” pada kolom pembuatan statusnya, sedangkan Twitter menuliskan “Apa yang sedang terjadi?”. Berangkat dari situ, media sosial (mulai dari Facebook, Twitter, dan lainnya) menampilkan apa yang sedang terjadi dan orang-orang pikirkan.

Di media sosial, kita tidak perlu berbicara secara harfiah untuk membuat orang-orang tahu tentang pikiran kita. Maka dari itu, membuka media sosial sama saja seperti kita diberi kekuatan untuk membaca pikiran orang lain. Tentunya menyenangkan ketika semua pikiran orang-orang sama atau sejalan dengan kita. Masalahnya, tidak. Tidak semua pikiran orang lain sejalan dengan kita dan tidak semua pikiran orang lain menarik untuk kita ketahui. Misalkan saja salah satunya adalah komentar-komentar negatif.

Tanpa media sosial (dan tanpa kemampuan dalam membaca pikiran), komentar-komentar negatif nan menyebalkan seperti “orang kayak lu ga pantes pake baju gitu”, “yah imannya jelek amat dah tuh orang”, “goblok deh manusia”, “susah dah gua gara-gara pemerintah”, dll hanya akan berada pada kepala orang yang memikirkannya. Kita punya kebebasan untuk tidak tahu-menahu tentangnya. Sedangkan dengan membuka media sosial, kita dibebankan untuk menampung pikiran orang lain, mulai dari rasa syukur, keluhan, masalah, humor, bahkan makian yang beberapa sudah dicontohkan di atas. Ketika kita tidak siap dalam menerima informasi-informasi tersebut dan merasa terganggu karenanya, di situlah letak di mana media sosial terasa menyebalkan. Begini kah rasanya menjadi Charles Xavier?

sumber: Giphy.com

Itu pun menurut gua, Charles Xavier masih beruntung, selain punya kekuatan untuk membaca pikiran, dia juga punya kekuatan untuk mengontrol pikiran. Kalau Charles Xavier ada di dunia nyata, gua bakal memohon dia untuk mengontrol pikiran orang-orang dengan isi yang baik-baik, tanpa perpecahan, tanpa permusuhan. Pokoknya kayak lirik Imagine-nya John Lennon lah.

Sayangnya dunia tidak seperti film X-Men, saudara-saudara. Setiap orang berhak memiliki pemikirannya sendiri. Apesnya, pemikiran-pemikiran merusak banyak bertebaran di media sosial yang mana adalah media yang kita buka setiap saat. Kalau sudah begini, jalan lainnya adalah mencoba ‘istirahat’ sejenak dari media sosial ketika pikiranmu mulai kusut membaca pikiran orang-orang. Kita punya hak lho untuk menyayangi diri sendiri dengan menghindar dari apa yang dapat menjadi toksik bagi diri kita. Di saat sudah siap untuk ‘menyelami’ pikiran orang-orang kembali, ada baiknya untuk memfilter orang-orang yang mau kita baca pikirannya. Bisa dengan cara bersih-bersih following/teman di Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya dari orang-orang yang ‘beracun’ bagi kamu dan pikiranmu. Semoga dengan begitu, kita lebih banyak menemukan manfaat di media sosial dibanding dengan menemukan mudaratnya sehingga media sosial kembali menyenangkan! :)


sumber gambar header: simplilearn.com