Life is Like a Novel

You have some favorite parts.


Aku seorang yang ingin mengenalnya lebih,
di saat dia tak ingin sama sekali mengenalku lebih
Aku pun seorang yang berbisik padanya bahwa aku peduli,
di balik punggungnya, pada jarak dua meter.
Karena pada akhirnya,
aku hanya seorang yang menantinya di seberang jalan,
jalan yang tak pernah tersentuh telapak kakinya

***

Bagian favorit dari novel gue adalah klasik. Tentang seorang anak perempuan yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Umurnya tiga belas tahun dan tidak mau tahu cara berkomunikasi lanjut dengan anak laki-laki yang disukainya, sekalipun ia mungkin bisa tahu. Ia tidak pernah membuat sebuah teguran, sapaan, apalagi percakapan.
Satu-satunya hal yang ia lakukan hanya diam di sana, memandang seorang anak laki-laki itu dari jarak jauh, sekali-kali terbang ke langit ke tujuh
jika pandangannya disambut dengan tatapan dari anak laki-laki itu, walau yang terburuk adalah anak laki-laki itu tidak bermaksud. Rasanya ada begitu saja. Ia tidak pernah memilih, apalagi mencari-cari, anak laki-laki itu begitu saja ada di sana, di hatinya.

Seperti orang mabuk asmara, ia ingat segala hal yang dilakukan antara ia dengan anak laki-laki itu. Percakapan pertama, pandangan tak terduga, hal-hal menyenangkan sampai hal-hal penyebab runtuhnya sebuah kahyangan yang telah ia bangun dari beribu-ribu hormon endorfin. Dan jika ‘ingat segala hal’ ini ia terapkan pada pelajaran-pelajaran di sekolahnya, gue menjamin ia sudah jadi pemegang ranking satu seangkatan.

Seperti percakapan pertama, di kelas sebelum pelajaran di mulai, bangku-bangku masih disusun bertumpuk di atas meja karena baru selesai di sapu oleh petugas sekolah. Anak perempuan itu bercakap-cakap dan bersenda-gurau bersama teman-temannya, duduk di atas meja yang masih ditumpuki bangku sekolah, lalu anak laki-laki ini menghampirinya. Tunggu dulu, biar gue beri nama tokoh anak perempuan ini. Namanya Shinta. Dan tokoh anak laki-laki yang Shinta suka, gue kasih nama Rama. Biar kalian yang baca anggap ini adalah bagian cerita dari Rama dan Shinta, serta kisah mereka yang tidak menginspirasi alias jauh sekali dari cerita Rama dan Shinta yang aslinya.

Kembali lagi ke cerita. Rama, anak laki-laki itu, menghampiri Shinta yang sedang duduk. Dengan ekspresi muka seadanya, Rama memanggil Shinta.

“Shin.”
Shinta menoleh. Dengan raut muka yang seadanya juga. Ia berada di titik ambang: senang karena Rama memanggilnya atau bingung karena ada apa?

“Shinta lu dipanggil.”

“Sama siapa?” Kata Shinta.

“Ya gak tau, temen lu. Di depan.” Rama menjawab dengan ekspresi muka yang sama, datar dan seadanya. Tidak bisa digambarkan dengan emoticon yang waktu itu hanya ada di facebook.

Rasanya gila ketika percakapan sesingkat itu telah membuat seorang terbang ke langit-langit dunia. Shinta terbang ke langit dunia. Hormon endorfinnya berkembang-biak menjadi banyak. That little conversation just made her day. Shinta was falling in love, and the bad was she fells so deeply. But the worst was: she didn’t tell.

Being a secret admirer was so weird.

Pernah di suatu waktu, saat pulang sekolah, Shinta duduk di pinggir jalan seberang sekolah tempat murid-murid sekolahnya biasa menunggu bis. Ia menunggu bis bersama teman-temannya, namun yang duduk hanya ia seorang. That ‘mager’ Shinta. That freaking mager Shinta. Lalu beberapa saat kemudian anak laki-laki itu menyebrang jalan dari arah sekolah, dan duduk. Tepat di samping Shinta. Dengan jarak yang dibuat, tentunya. Untuk seorang pengagum rahasia, hal kecil seperti itu telah membuat jantungnya (lagi-lagi) berdetak tidak karuan. Melihat langkah Rama menyebrang jalan saja, sudah merupakan kesenangan baginya. Apalagi melihat kenyataan bahwa ia duduk disampingnya. Shinta norak. Mendadak di dalam hatinya bergema sebuah pesta perayaan dan setiap makluk di dalamnya saling menyapa satu sama lain dengan kalimat, “What a good moment. Congratulation!” . Sayangnya kemewahan perayaan ini hanya terjadi di dalam,. Di luar, di wajah Shinta hanya terlukis satu wajah yang dipenuhi dengan kedataran, menatap kosong gerobak cimol di seberang jalan.

I repeat, being a secret admirer was so weird.

Selalu ada imajinasi di setiap lamunan seorang pengagum rahasia. Dan Shinta salah satunya. Tak pernah terlewat tiap detiknya, bayang-bayang Rama selalu ada. Dia duduk di sana, bersenda-gurau dengan Shinta. Membicarakan banyak hal. Sesekali saling menatap. Nyatanya hanya imajinasi Shinta sendiri. Tapi seperti narkoba, selalu membuatnya ketagihan. Shinta selalu mengulang hal yang sama. Berimajinasi sendiri, larut, diam dan tidur. Di mimpinya, Rama ada di sana. Lalu Shinta bangun dengan hati yang berbunga-bunga.

Di sekolah, tiap hari Kamis Shinta mempunyai mata pelajaran bahasa Inggris dengan native speaker. Sebuah mata pelajaran yang paling disukai murid-murid di kelas Shinta. Guru bule itu datang dan bermain dengan mereka di kelas. Berkomunikasi dengan bahasa Inggris tentunya. And Shinta was a terrible speaker. Tapi poin ini tidak terlalu berpengaruh di cerita yang gue tulis sekarang.

Permainan di Kamis itu adalah sebuah permainan klasik, kecintaan mereka sekelas. Truth or Dare. Terlebih Shinta, she loved that game so much. You know, gave her some memories. Waktu itu seorang teman memilih Shinta untuk memainkan permainan itu. Shinta memilih truth. That was so easy question, like this: choose one, Dewi Persik or Jupe? I’m serious, that was a question for Shinta and Shinta chose Jupe. But that was not Shinta’s favorite part. Her favorite’s when the teacher said, “choose one your friend for the next game” and accidentally Rama said, “jangan gue”. And because that was so stupid Shinta tried to “Jual Mahal”, reflex she said “GEER!” loudly. Everyone in her class laughed include Shinta. But Shinta didn’t see how’s Rama face. Because what Shinta did was so annoying and Shinta could be understand if someday she know that Rama would hate her.

Beberapa minggu berikutnya adalah Kamis yang benar-benar menyenangkan Shinta. Kelas mereka kembali memainkan permainan truth or dare. Kali ini bukan Shinta yang kebagian memainkannya. Hanya menonton. Tema permainan hari ini penuh dengan tantangan. Semuanya diharuskan memilih dare. Mereka sekelas membentuk sebuah lingkaran besar dan yang kedapatannya memainkan permainan berdiri di tengah-tengah lingkaran. Satu per satu beberapa teman Shinta maju dan memainkan permainan yang sama. Mereka ditantang untuk menyatakan cinta ke orang yang terpilih. Orang yang terpilih ini dipilih secara (gak tau secara apa pokoknya mereka milih) dan yang ditantang harus melakukannya. Berlutut di depan orang yang terpilih dan bilang “I love you”. 

Salah satu orang yang ditantang adalah Rama. Dan siapa orang yang terpilih? Tentu Shinta. Shinta maju di tengah-tengah lingkaran dengan perasaan yang meledak-ledak. Di depan sudah ada Rama cengengesan sok malu-malu. Begitu pun tampilan luar Shinta. Cengengesan dan sok malu-malu. Rama mulai berlutut, dari kejauhan teman Shinta, otak dari segala keadaan ini teriak-teriak, “SHINTA KURANG MAJU! MAJU LAGI DONG.” Shinta pun maju sejengkal. Sejengkal Hulk. Dan apakah sekarang jarak Shinta dengan Rama sudah dekat? Tidak juga. Karena sebelumnya Shinta berdiri dengan jarak yang lumayan jauh dari Rama. Permainan dimulai. Rama sudah berlutut. Lalu dia mengucapkan kata itu. Pelan. Sekali. Alias Pelan sekali. Teman-teman sekelas menyuruh Rama mengeraskan lagi volume suaranya. Rama mengucapkannya lagi. Sudah lebih keras. Tapi masih pelan. Lagi-lagi, mereka menyuruh Rama mengulang. Untuk yang terakhir kali, muak karena lagi-lagi disuruh ulang, Rama mengucapkannya keras. “I love you!” setengah tereak. Shinta sudah di awang-awang.

Semua tahu ini hanya permainan. Tapi bagi seorang pengagum rahasia seperti Shinta. Ini ngasih kesan!

Gila.

Gue tutup dulu novel ini sejenak. Membiarkan bagian favorit lainnya gue jabarkan nanti. Lebih indah jika tidak sekaligus. Karena bagian itu perlu diurai satu-satu agar kesan di dalamnya menyusup di jiwa, membawa gue kembali ke masa lalu yang hanya merupakan masa lalu. Dikenang, tapi tidak dinantikan.

Gue akan lanjutin di pos berikutnya.