Waktu Datang, Kisah Terkenang (1)


Tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika gue masih duduk di bangku kelas 1 SMA, ketika gue tahu bahwa SMA adalah jembatan gue dari masa anak baru gede di SMP untuk ke masa dewasa kelak di kuliah, ketika banyak motivator-motivator berdatangan ke sekolah mengenalkan gue akan cita-cita dan cara mencapainya, ketika gue dituntut mempunyai asa yang besar dan tidak takut untuk memperjuangkan, ketika gue ditantang untuk menulis surat untuk diri gue di masa depan, dan menyapa akan menjadi apa gue kelak setelah lulus SMA, gue cuma punya satu mimpi: meneruskan ke perguruan tinggi Universitas
Indonesia.

Setiap mampir ke sekolah idaman gue saat itu, UI, jiwa gue seakan bergetar, hasrat gue paling dalam selalu berteriak: tempat ini akan jadi tempat gue sehari-hari kelak. Membayangkan memakai jaket kuning serta menyandang predikat sebagai anak Teknik Arsitektur UI sudah makanan gue sehari-hari. Bahkan, dulu gue pernah membayangkan, kelak di hari pertama di UI, gue akan update status Path gue (iya, sungguh kekinian): Selamat Pagi Universitas Indonesia! from Depok.

Dua tahun yang lalu pun masih sama. Ketika gue kelas 2 SMA, gue ada tugas membuat film pendek, dan kelompok gue memilih lokasi di UI. Setiap menapak di perpustakaannya, mesjidnya, kantinnya, pinggir danaunya, JALAN KONBLOKNYA, hati kecil gue selalu jerit: pokoknya ini adalah jalan gue nanti, tempat sehari-hari gue nanti, ah, gue akan sering solat di sini, gue akan nongkrong di sini, oh, pokoknya ini tempat gue, dan, oh, ya, pasti gue akan selalu menghirup udara dari pohon yang di sini, dan titik. Gue cuma punya satu tujuan kelak, dan itu adalah Universitas Indonesia.

Kehidupan berjalan, dan tidak selalu hal yang gue idamkan mendapat restu. Cita-cita gue jadi seorang arsitektur nyatanya tidak terlalu mendapat dukungan. Bukannya takut bermimpi, gue pun semakin sadar kalau belum tentu jalan untuk gue adalah menjadi arsitek. Salah satu cita-cita gue adalah merancang atau menata rumah gue sendiri kelak, dan hal itu tetap bisa gue lakukan walau gue tidak menjadi arsitek. Cita-cita utama gue masih sangat abstrak, yaitu berkontribusi untuk membuat perubahan dan memajukan Indonesia, entah seberapa besarkah peran gue, setidaknya ada gue di sana yang ikut membantu. Dalam bidangnya pun masih belum jelas. Yang pasti gue ingin berpartisipasi di bidang kota, lingkungan atau sumberdaya alam Indonesia (mengingat Indonesia kaya akan sumberdaya alamnya). Maka sekali lagi, gue tetap mencita-citakan UI, namun pindah jurusan dan memilih teknik lingkungannya.

Pada Januari atau Februari, waktu gue udah duduk di bangku kelas tiga SMA, sekolah gue mengadakan kampus Expo. Jadi, alumni-alumni sekolah gue yang diterima di perguruan tinggi negeri berdatangan ke SMA gue dan berbagi ceritanya, bisa tentang kampusnya, atau tentang bagaimana usaha mereka bisa mendapatkan kampusnya sekarang. Di situlah mulai terbuka pikiran gue bahwa kampus atau tempat kuliah gak mesti Universitas Indonesia. UI memang kampus idaman para siswa, dan gue adalah salah satu dari ribuan manusia yang mengharapkan UI. Punya kepala baget (baca: batu banget) yang mikir "POKOKNYA HARUS UI TERSERAH JURUSANNYA APAAN" adalah salah besar. Dulu, gue termasuk bagian itu. Gue bahkan sempet kepikiran untuk ngambil jurusan 'sesuatu' di UI yang gak gue minati sama sekali. Lebih lagi, UI juga bukan universitas main-main (ya iya lah), yang kalo tidak mencapai IP minimum, harus D.O. Lah kalo gue ngasal milih jurusannya-yang-penting-UI terus gue gak sanggup jadinya IP gue kecil? Metong aja w.

Maka, setelah hari itu, malamnya, gue berdiskusi dengan orang tua gue, kampus mana lagi yang gua dibolehkan untuk memilih selain UI dan UIN (karena dua-duanya masih di sekitar Jakarta dan YA AMPUN UIN ITU DEKET BANGET SAMA RUMAH GUE). Dan, malam itu bapak gue memustuskan. bahwa. sesungguhnya. apa? iya. oke. lanjut. bahwa, gue dibolehin kuliah di Undip! Gue dibolehin ke Semarang, alesannya: karena ada sodara di sana. ASIK. Gue seneng banget waktu itu karena gue ada pilihan lain selain UI! 

Beberapa minggu kemudian, ketika gue lagi belajar biologi buat UN, gue masuk ke materi pengolahan limbah yang pake bakteri-bakteri aneh gitu. Pusing, muak. Gak suka banget gue sama materi begituan. Lalu, gue sadar kalo teknik lingkungan pasti pelajarin itu. Duh! Seketika itu juga gue gak mau milih jurusan teknik lingkungan lagi. Demi apapun (cielah), gue gak jadi milih teknik lingkungan. Akhirnya gue browsing sana-sini, bongkar-bongkar buku pilihan jurusan kuliah yang dikasih Ganesha Operation buat liat-liat jurusan apa di UI, UIN atau Undip yang menggugah selera. Tiba-tiba gue ketemu nama jurusan aneh di Undip, namanya teknik PWK. Aneh banget, kan, namanya? Apa coba PWK. Powok. Piwik. Pewek. Peweka. Akhirnya gue browsing, dan, mood gue naik hebat sekali. Ternyata teknik PWK adalah kepanjangan dari teknik perencanaan wilayah dan kota. Lalu seakan-akan ada pelangi yang melengkung di atas kepala gue, ini kah jalan dari Allah? Ini kah, yaa Allah? Gue langsung terharu. Padahal diterima aja belom. Tapi setelah browsing sana sini tentang teknik PWK, gue bener-bener suka dan tertantang sama jurusan ini. Makanya, setelah itu gue geer, mungkin ini jalan yang Allah berikan buat gue.

Ngomong-ngomong soal UI, lama-lama gue semakin memundurkan mimpi gue di UI. Bukan karena takut bermimpi, sekali lagi. Tapi, setelah gak berniat lagi milih jurusan teknik lingkungan, di UI, makin gak ada jurusan yang gue mau. Dan saat itu juga, gue bener-bener sudah membulatkan tekad untuk memilih jurusan teknik PWK di Undip.

Akhirnya, masa Ujian Nasional pun selesai, dan pendaftaran SBMPTN datang. Eh jie, gue emang gak keterima di SNMPTN ya? Oh tentu ya. Salah gue merasa bodo amat sama SNMPTN. Salah gue gak pernah punya target untuk lolos SNMPTN. Gue emang salah satu anak berpikiran bangke yang gak peduli sama SNMPTN. Gue emang deg-degan waktu pendaftaran SNMPTN, tapi setelah itu gue pasrah. Gimana gak pasrah, nilai semester lima gue meluncur indah dari ketinggian nilai semester empat gue. Ya pasrah lah gue. Dan, keinginan gue dari dulu adalah lolos SBMPTN. Gue udah beli buku SBMPTN 2014 padahal gue baru ikut ujian tahun 2015. Walaupun gak semua soal langsung gue isi semua waktu gue kelas dua SMA, setidaknya seniat itu lah gue buat SBMPTN. HEHE

Masa pendaftaran datang, dari tiga pilihan yang sebaiknya diisi, gue sudah membulatkan dua pilihan:
1. Undip - Teknik PWK (karena gue suka dan gue ingin dan gue mau dan gue akan)
2. UIN - Farmasi (ini pilihan babeh gue, tapi boleh deh ane coba)

Terus ketiganya apa, woy. Saat itu juga gue despresi, lagi. Lagi. Dan lagi. Kepala gue rasanya penuh. Isinya pengen tumpah. Sehari sebelum niat gue daftar pilihan gue di website SBMPTN, kepala rasanya nyut-nyutan banget. Gue sudah memperhitungkan segalanya mulai dari persenan keketatan penerimaan mahasiswa, sampai passing grade tahun kemarin gue jadiin acuan. Tapi gue masih punya satu pilihan lagi belum diisi. Gue isi apa ya? Gue obrak-abrik, (iya, lagi-lagi) buku GO buat lihat-lihat jurusan dan universitas mana aja yang belum tersentuh oleh pandangan gue. Lagi mumet-mumetnya, di detik detik terakhir gue menemukan satu nama: Institut Pertanian Bogor. Tangerang Selatan ke Bogor? Wah boleh juga tuh. Gak jauh-jauh amat. Akhirnya, setelah meminta restu orang tua, gue diperbolehkan memilih IPB sebagai pilihan ketiga dan jurusan yang terpilih adalah:

jreng....
jreng....
dum bas tss...
pilihan ketiga gue jatuh pada jurusan.....

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan - IPB.

Iya, itu pilihan terakhir gue di SBMPTN. Setelah browsing sana-sini gue lumayan menyukai, jadi, yuk besok daftar SBMPTN dengan ketiga pilihan itu. Bismillahirrahmanirrahim. Udah. Tinggal ujian.

Dan bagaimana hasilnya? Pada saat itu hanya Allah yang tahu.