Di Balik Secangkir Kopi


Kali ini hening yang aku dengar di bawah atap bangunan tempat aku tinggal. Kesunyian ini membawa jauh suasana ramai yang aku rasakan di tempat yang sama seperti sebulan, atau mungkin seminggu yang lalu. Aku jadi ingat ketika aku mengeluh segalanya tentang keramaian kemarin, aku berkata pada diriku sendiri bahwa semua orang berisik, aku tidak mau mendengarnya. Aku merasa lelah tentang hal-hal sepele yang aku rasakan di tempat yang mereka sebut sekolah, dan ketika aku menuntut keheningan di rumah, mereka menolak. Sekarang jauh daripada itu, aku merindukan segala kebisingan kemarin. Kebisingan yang penuh cinta dan kasih sayang.

Biarlah kali ini aku melampiaskan keresahanku pada secangkir kopi vanila yang aku buat khusus untuk malam ini. Sekian bulan aku tidak pernah menyentuh rentetan kopi di dalam buffet karena aku menghindarinya. Kopi yang kemarin hanya membuat detak jantungku semakin riuh, tak teratur. Kali ini aku mengalah, biarkan efek negatif kafein ini aku redup sejadi-jadinya, yang ada tinggal manfaatnya: melawan depresi.

Di balik secangkir kopi kali ini tersimpan keluh yang mendalam, dan kembali aku mengutuk segala yang aku rasakan sekarang. Aku merindukan kebisingannya. Aroma kopi yang bermanfaat sebagai penghindar stress dan putus asa belum cukup meredakan segalanya selama suasana belum kondusif seperti sebelumnya. Suasana sepi yang cukup memuakkan bagiku, aku merindukan sukacita. Aku merasakan penat disini. Atmosfer palsu, buatan China! Gesekan lemari, rincingan kunci yang bersentuhan, atau suara jam menjadi lebih mencekam bagiku. Aku seperti merasakan canggung di tempat yang sudah aku tinggali belasan tahun ini. Suasana di sekolah dan di tempat ini mendadak kontras. Kelabu.

Aku bersumpah, secepatnya akan kuganti dengan orange yang ceria.